Wisnu Negara adalah seorang gitaris muda yang eksploratif dalam mencari suara baru. Ia menempuh pendidikannya di Amerika Serikat dan saat ini aktif kembali bermusik di Bali. Bagaimana cerita Mas Wisnu (yang juga sering dipanggil Komang) bermusik dan menempuh pendidikannya akan diceritakan di bawah ini.
Apa background pendidikan musik mas Komang?
Background pendidikan saya umumnya adalah seni pertunjukan gitar klasik. Tapi, sebenarnya saya lebih suka menjadi pemerhati musik baik di genre atau style manapun. Karena kalau dibilang, ‘background’ saya di musik terutama di program instrumental tidak begitu solid. Saya lahir di keluarga bukan pelaku seni (artist). Tapi mereka sangat penuh mendukung saya untuk menekuni seni musik. Sempat juga ketika SMA fokus saya beralih lagi di dunia teater. Namun yang namanya berkesenian selalu ada hal baru yang saya dapat terutama pada pertunjukan teater dimana saya berkesempatan untuk menjadi ilustrator musik (penata musik) dalam beberapa pementasan. Disini saya benar-benar tertarik untuk mendalami musik jauh lebih dalam lagi, bukan hanya sekedar memainkan musik tapi ingin lebih tahu beberapa aspek baik dari segi teori dan aplikasinya terutama di ‘Musik Barat’. Selama saya masih duduk di bangku sekolah (terutama di Bali), mungkin memang benar-benar minim adanya pelajaran Musik Barat yang bisa memberikan saya gambaran yang sedikit lebih detail. Alhasil saya sempat vakum untuk belajar gitar dan hal yang berhubungan dengan musik beberapa tahun ketika saya tamat SMA.
Bagaimana pengalaman Mas Komang belajar di US dan di CalArts?
Saya pernah mengenyam pendidikan Strata 1 di US di bidang Seni Musik. Ada hal menarik sebelum saya mengambil jurusan musik di US. Awalnya saya mencoba untuk mengambil jurusan Finance, akan tetapi persyaratan Matematikanya sangat sulit dan saya gagal selama kurang lebih 2 tahun untuk menempuh jurusan tersebut. Alasan saya untuk mengambil jurusan keuangan karena kedua orang tua saya. Tentunya saya sangat bersyukur dan beruntung mereka juga yang memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenyam pendidikan tinggi di US. Singkat cerita, saya memberanikan diri untuk pindah jurusan musik—yang pada waktu itu di kampus saya ada audisi musik untuk mendapatkan beasiswa di segala program baik instrumentalist maupun komposisi. Alhasil saya diam-diam mencoba audisi tersebut tanpa sepengetahuan kedua orang tua saya. Semesta mendukung. Saya memperoleh beasiswa tersebut. Hanya bermodalkan pengetahuan yang saya ingat dulu dan juga melakukan riset secara online beberapa hal tentang gitar klasik. Akhirnya saya mendapat pembelajaran secara intensif baik di teori dan privat gitar klasik bersama dosen saya sebelumnya yang bernama Jim Harmon, beliau adalah alumni dari University of Southern California di program gitar klasik dan song writing. Selama 2 tahun saya dididik beliau agar saya bisa melanjutkan ke program strata 1. Akhirnya saya berkonsultasi dengan beliau dan menyarankan agar saya mencoba audisi di California Institute of the Arts (CalArts) karena melihat kemampuan saya yang lebih dominan di sisi kreatif dalam bermusik. Dan benar saya di terima di CalArts dan juga dibantu dengan beasiswa dari kampus tersebut. Disini pandangan saya terhadap musik benar-benar berubah. Pada waktu itu saya mendapat 2 mentor (dosen) untuk program pertunjukan gitar. Mereka adalah Miroslav Tadic dan Stuart Fox yang saya anggap sudah seperti teman dekat saya sendiri disana. Mereka benar-benar paham akan kebutuhan dan hal apa saja yang saya harus pelajari sebagai musisi yang kreatif bukan hanya sekedar fokus dalam teknik dan musikalitas. Karena memang nyatanya di CalArts untuk program musiknya sangat menarik dan benar-benar flexible (tidak kaku). Saya bisa berkolaborasi lintas disiplin dan belajar hal lain selain gitar klasik untuk mengasah proses kreatif artistik.
Apa musik yang mas Komang dalami dan suka untuk dimainkan?
Tetap seperti gitaris klasik pada umumnya, saya tetap menekuni standar repertoar di gitar klasik, baik dari Barok, Klasik, Romantic dan Kontemporer. Tapi entah kenapa saya lebih mendalami dan menyukai musik beraliran Modern baik dari Experimental, Noise, Spectral, Just-Intonation, New Complexity, Aleatoric, dan masih banyak lagi. Pernah saya mencoba membawakan karya dari James Tenney – Septet bersama dengan kawan-kawan gitaris lainnya yang dimana format dari lagu tersebut adalah Canon. Kemudian secara bertahap membentuk chord A11 dalam ‘Just-Intonation’ yang sangat menarik ketika didengar karena benar-benar sangat “in tune” daripada sistem “Equal Temperament” yang umum kita pakai saat ini. Tentunya dalam struktur ritmis yang sangat sulit. Banyak terdapat poliritme konsekutif dan ritmis synkop dari 2:3, 2:5 dan seterusnya. Mungkin, karena lingkungan kampus saya di CalArts yang sering menampilkan pementasan musik-musik Modern (New Music)/ ‘musik nyeleneh’ dan kembali ke point pertama, saya memang suka memperhatikan musik karena ingin tahu lebih dalam dengan motivasi-motivasi mengapa karya musik tersebut diciptakan. Bahkan ketika saya masih kuliah saya juga mengambil minor komposisi disana.
Apa proyek Mas Komang saat ini atau ke depannya?
Untuk saat ini saya ingin kembali melanjutkan konser bersama kawan-kawan ensemble saya yang tertunda karena pandemi COVID. Kedepannya, saya ingin memperkenalkan lebih banyak macam-macam pementasan musik terutama di kalangan anak-anak muda di Bali agar mereka mendapatkan pengalaman yang berbeda dan lebih menerima musik Barat pada umumnya—dan tentunya dengan cara inspiratif dan edukatif.

Mas Komang juga terlihat suka bermain dalam Ensemble. Bagaimana ceritanya?
Saya bersama kawan-kawan dari The Musicians Multi-focus Ensemble, sempat mendapatkan kesempatan untuk menampilkan pementasan musik dari Dinas Kota Denpasar beberapa bulan yang lalu. Namun karena pandemi secara berat hati kita harus tunda sampai keadaan menjadi normal kembali. Dan saat ini kita hanya sesekali berkumpul dan latihan sembari mencari-cari karya yang mungkin akan dipentaskan selanjutnya.
Apa gitar yang saat ini dipakai Mas Komang?
saat ini saya memakai gitar buatan Benditch (Benz) Tschannen No. 75 tahun 2017.